Kediri, 15 Juli 2025 – Tubuhnya tampak mungil, berbeda dari kebanyakan orang seusianya. Namun semangat dan tekad Dafir Mustofa Ittaqi, alumni FKIP UNISKA Kediri angkatan 2012–2016, justru jauh melampaui batas-batas fisik yang dimilikinya. Terlahir dengan kelainan genetis, Dafir tidak menjadikan keterbatasannya sebagai penghalang untuk meraih cita-cita dan memberikan manfaat bagi sesama.
“Saya tahu saya bukan yang terbaik di antara teman-teman saya, tapi saya tetap optimis,” ujar Dafir mengenang perjuangannya selama kuliah. Meski kerap merasa kemampuan akademiknya berada di bawah rata-rata dan harus bersaing dengan teman-teman yang lebih unggul, Dafir tak pernah menyerah. Usahanya membuahkan hasil—ia berhasil lulus dengan IPK 3,05 dan merasakan momen wisuda yang membahagiakan bersama keluarga tercinta.
Setelah lulus, Dafir memilih jalan pengabdian. Ia bergabung dengan Genta English Course, sebuah lembaga kursus berbasis pesantren. Di sana, ia tak hanya mengajar bahasa Inggris, tetapi juga membina santri di Pesantren Tahfidz Mazro’atul Lughoh. Ia turut mengajar di SMP Islam Sejahtera, membuktikan bahwa keterbatasan fisik bukan alasan untuk berhenti berkontribusi.
Pada tahun 2020, Dafir sempat melanjutkan studi S2 di IAIN Kediri. Namun, takdir berkata lain. Ia mengalami kecelakaan dan jatuh sakit menjelang ujian tesis. Masalah kesehatan dan ekonomi membuatnya harus mengambil keputusan sulit: mundur dari studi. “Tinggal selangkah lagi, tapi saya harus pulang kampung. Waktu itu saya belum siap kembali ke kampus,” kenangnya.
Ternyata, sakit yang ia alami tidak ringan. “Setelah saya jatuh kecelakaan, saya mulai sakit dan tidak kunjung sembuh. Saya sudah berobat tiga kali lebih di Pare, tapi hasilnya sama saja,” ujarnya. Saat itu, muntah terus-menerus membuatnya kehilangan tenaga. Setelah menjalani tes laboratorium, dokter menyatakan bahwa tubuhnya sudah dipenuhi racun dan memerlukan tindakan cuci darah. “Akhirnya kami sekeluarga sepakat untuk cuci darah. Awalnya seminggu dua kali,” ceritanya.
Dafir mengakui, salah satu penyebab kondisi tersebut adalah kelalaiannya menjaga kesehatan. “Saya terlalu memforsir diri untuk banyak kegiatan seperti mengajar, tapi lalai minum air. Padahal tubuh kita sangat butuh cairan. Itu juga yang menyebabkan gagal ginjal,” jelasnya.
Namun meski fisiknya melemah, jiwanya tetap kuat. “Walaupun saya sakit, saya tidak ingin orang lain merasakan seperti saya. Saya hanya ingin bermanfaat dan banyak membantu bagi yang membutuhkan,” ucapnya dengan keteguhan yang menyentuh hati.
Namun semangat itu tak padam. Sejak 2022, Dafir aktif mengembangkan Yayasan Pendidikan Islam milik ayahnya di kampung halaman. Ia juga mengajar di SDN 3 Sumberanyar, membuka kursus bahasa Inggris daring, hingga menciptakan karya buku berjudul Mastering English Speaking dan kumpulan cerpen Cita-Cita di Balik Batas. “Buku ini adalah batu loncatan saya untuk meraih impian dan membangun usaha,” ucapnya penuh harap.
Kini, selain mengajar di sekolah formal dan pesantren, Dafir tetap setia pada misinya: berbagi ilmu dan semangat kepada orang lain. Dalam keseharian, ia menghidupi dua dunia—bahasa dan keagamaan—dengan penuh dedikasi.
Dafir mengenang masa kuliahnya di FKIP UNISKA sebagai pengalaman berharga. “Saya bersyukur bisa kuliah di UNISKA. Dosen-dosennya luar biasa dan membimbing kami dengan tulus. Kami bukan hanya belajar ilmu pendidikan, tapi juga debat, sosial, budaya, hingga perhotelan.”
Untuk almamater tercinta, Dafir menyampaikan harapan tulusnya. “Jadilah pusat pendidikan di Kota Kediri, bangunlah masyarakat Indonesia dan beri mereka pendidikan yang terbaik, mengerti tentang skala kehidupan, dan bermoral akhlak baik serta berwawasan tinggi.”
Bagi generasi penerus, Dafir menyampaikan pesan penuh semangat, “Kejarlah impian setinggi-tingginya. Kalau gagal, bangkitlah. Rasakan prosesnya, nikmati perjuangannya. Ilmu yang kita peroleh akan bermanfaat untuk orang lain. Jangan menyerah. Tetap optimis, karena kesuksesan selalu lahir dari pengorbanan dan kegagalan yang dijalani.”
Kisah Dafir Mustofa Ittaqi bukan sekadar cerita perjuangan. Ia adalah wujud nyata bahwa semangat tak bisa diukur dari rupa, dan keterbatasan bukanlah alasan untuk berhenti bermimpi. Ia adalah inspirasi bahwa harapan akan selalu menemukan jalannya—meski dari balik batas.
Dafir is Impact Maker approved!
Setelah berbagai tantangan hidup, Dafir (berbaju merah) memilih pulang dan mengabdi di kampung halaman melalui pendidikan. “Saya hanya ingin bermanfaat bagi orang lain,” ucapnya. Prinsip itulah yang terus ia pegang dalam setiap langkah pengabdiannya.
Di tengah keterbatasan, Dafir terus bergerak. Ia memanfaatkan teknologi untuk membuka kelas bahasa Inggris online, membuktikan bahwa semangat mengajar bisa menembus ruang dan waktu.
Momen penuh haru dan kebanggaan. Dafir (berdiri nomor dua dari kanan) turut mendampingi guru dan siswa dalam acara pelepasan kelas 6, menjadi bagian dari perjalanan pendidikan anak-anak hingga ke jenjang berikutnya.
Bersama para santri TPQ Al-Muta’allimin, Dafir (berbaju merah baris kedua) berdiri di depan lembaga milik ayahnya—tempat ia terus menyalakan semangat belajar dan cinta Al-Qur’an di kampung halaman.
